Minggu, 14 November 2010

fan fiction " importance of family"



Importance of A Family(don't like don't read)
Sore hari itu, pemuda berambut pirang dengan bola mata berwarna biru langit berjalan seorang diri. Pemuda tersebut bernama, Uzumaki Naruto. Naruto membuang tatapannya ke Danau Konoha di kejauhan. Tampak satu sampai dua perahu panjang yang melaju lambat ditengah danau. Hampir setiap sore dia berjalan hanya untuk menenangkan hatinya.
Naruto berjalan sambil bersenandung kecil. Wajahnya dihiasi senyumannya yang khas. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung jaket berwarna hitam jingganya. Tak lama, suara gaduh terdengar dari kejauhan. Naruto memicingkan matanya. Terlihat segerombolan pria dewasa sedang memukuli seorang pemuda secara beramai-ramai.
Gerombolan pria dewasa itu terdiri dari tiga orang. Dengan raut wajah sangar, mereka terus memukuli pemuda didepannya. Pemuda itu terkapar dijalan. Dia melindungi diri menggunakan kedua lengannya dari pukulan pria dewasa. Naruto tak bisa membiarkan mereka, dia pun segera mencari beberapa penjaga taman kemudian menghampiri pemuda malang tersebut.
Ketika tiga penjaga berlari mendekati segerombolan pria dewasa, mereka terkejut dan menjauhi pemuda itu. Naruto hanya melihat para penjaga mengejar pria dewasa tersebut dari kejauhan. Pandangan Naruto pun beralih pada pemuda yang sedari tadi terkapar lemah.
Naruto memandang pemuda didepannya. Rambut pemuda itu berwarna merah darah, ada lingkar hitam disekitar matanya yang berwarna hijau laut, serta tato bertuliskan 'ai' didahi kirinya. Wajahnya babak belur, baju merah panjangnya bahkan sudah compang camping. Dilihat dari wajahnya, sepertinya Naruto seumuran dengannya.
Tanpa pikir panjang, Naruto mengulurkan sebelah tangan untuk membantu pemuda itu. Namun pemuda berambut merah darah menepis tangan Naruto cukup keras seakan menolak pertolongan darinya.
"He-hei, aku tak akan menyakitimu kok. Tenang saja, jangan takut." kata Naruto.
Pemuda itu tak menjawab sepatah kata pun dan membuang muka. Dia hendak berdiri dengan kekuatannya sendiri, tapi gagal. Tubuhnya terlalu lemah, dia tak punya cukup tenaga saat ini. Naruto cepat-cepat menahan tubuhnya yang hampir terjatuh.
"Lihat, kan? Tubuhmu sedang lemah. Kau jangan banyak bergerak dulu!" Naruto sedikit membentaknya. Dia bukan tipe orang yang bisa menahan emosi. Bagaimana tidak? Pemuda ini sangat sulit diberitahu. Keras kepala sekali dia, pikir Naruto.
"Kau kubawa ke rumah sakit, ya?" tanya Naruto. Dia meletakkan sebelah tangan pemuda itu dibelakang lehernya, sementara sebelah tangan Naruto memegang pinggang pemuda merah darah dari belakang.
"Tidak perlu." pemuda tersebut angkat bicara.
"Eh? Kalau begitu, aku antar sampai rumahmu deh?"
Pemuda itu menggeleng, "Aku tidak mau. Tinggalkan aku sendiri saja disini."
Naruto membelalakkan matanya, "Ti-tidak bisa begitu dong! Kau sedang sakit, masa' mau kutinggal sendirian? Kau gila, aku tak akan sudi membiarkanmu, sementara tubuhmu lemah begini!"
"Bagaimana kalau ke rumahku saja? Kumohon, kali ini jangan menolak. Aku benar-benar ingin menolong dan mengobati lukamu. Ya? Kumohon." desak Naruto.
"...terserah kau." jawabnya datar tanpa menatap wajah lawan bicaranya.
Naruto tersenyum lebar, memperlihatkan sederetan gigi putihnya. Dia senang sekali karena pemuda merah darah tak menolak permohonannya.
"Hm.. anu, namamu siapa? Aku Uzumaki Naruto, kau boleh memanggilku Naruto. Kalau kau?"
"Gaara.. panggil saja begitu." jawabnya acuh.
Naruto menghela napas panjang. Benar-benar deh, pemuda yang satu ini irit bicara sekali. Naruto pun berjalan perlahan sambil menopang tubuh lemah pemuda itu hingga mereka tiba di rumah kediaman Uzumaki.
.
"Astaga, Naruto! Siapa pemuda ini dan kenapa tubuhnya terluka parah?" ibu Naruto, Kushina, menjerit ketika melihat anak laki-laki tunggalnya masuk ke rumah sambil membawa orang tak dikenal.
Naruto mengerutkan alisnya. "Ibu, tak perlu berteriak bisa, kan? Tadi aku melihatnya dipukuli segerombolan orang dewasa. Lalu aku tolong dia, karena dia tak mau kubawa ke rumah sakit atau ke rumahnya, jadi kubawa dia kesini."
Kushina menutup mulut dengan sebelah tangannya, "Ya ampun. Kalau begitu kau bawa dia ke dalam. Ibu siapkan air hangat untuk mengobati lukanya, ya."
Kushina berlari kecil, sedangkan Naruto menuntun Gaara sampai ke ruang keluarga. Naruto melepaskan pegangannya dan membiarkan Gaara duduk disofa panjang berwarna putih susu.
"Tunggu sebentar disini, aku mau ambil kotak obat dulu." perintah Naruto.
Gaara mengangguk pelan.
Tak lama, Kushina datang membawakan baskom kecil dan saputangan biru muda. Wanita itu meletakkan baskomnya dimeja sebelah sofa. Kushina duduk disebelah Gaara, kemudian Kushina membasahi saputangan yang dipegangnya ke dalam baskom berisi air hangat, lalu meremasnya.
"Sini, biar kubersihkan noda darah diwajahmu dulu." Kushina menyeka poni Gaara sebelum akhirnya membasuh wajah putih pucatnya dengan saputangan.
"Tch!" pemuda merah darah itu meringis ketika tangan Kushina membersihkan darah pada pipi kirinya.
"Maaf, sakit, ya? Tahanlah sebentar." kata Kushina tersenyum, "Namamu siapa?"
"Namanya Gaara, bu." timpal Naruto sambil berjalan membawa kotak obat, "Sudah sakit begitu masih tak mau diobati. Kalau dibiarkan, besok wajahmu pasti sudah bengkak-bengkak."
"Ohh Gaara.. sepertinya kau seumuran dengan Naruto, ya..." Kushina menatap wajah Gaara sambil mengusap wajahnya, "Dilihat dari sikapmu, pasti kau ini pendiam sekali dibandingkan anakku. Naruto itu cerewet sekali. Jangan terlalu banyak bergaul dengannya, nanti kau jadi tertular cerewetnya. Sudah cerewet, sok tahu pula." wanita itu tertawa kecil.
"Ibu, jangan beritahu padanya yang tidak-tidak dong!" Naruto protes dan menggembungkan pipinya, disusul senyuman tipis Gaara, "Tuh, kan? Gara-gara ibu, Gaara jadi ikut menertawakanku tuh!"
"Hanya bercanda, Naruto. Jangan dianggap serius begitu," Kushina mengibaskan sebelah tangannya, "Gaara, bagaimana pun juga anak yang satu ini cerewet sekali. Kau harus tetap hati-hati." Wanita berambut merah tomat itu berbisik dikuping kiri Gaara.
"Ibuuu.. aku mendengarnya lho." Naruto memperingatkan. Dia melipat kedua tangannya didada.
"Iya, ibu tahu," Kushina mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum, "Nah, Gaara. Diamlah dulu, aku akan menempelkan plester pada wajahmu." Kushina meraih beberapa plester dari kotak obat, lalu menempelkannya pada wajah Gaara dengan hati-hati, "Yak, selesai!" serunya kemudian.
"Terima kasih. Maaf merepotkan Anda." Gaara menunduk hormat.
"Tak masalah," Kushina berdiri tegap, "Oh ya, Gaara. Sebentar lagi waktunya makan malam, bagaimana kalau kau ikut makan bersama kami?" tawarnya.
Gaara menggeleng, "Tidak perlu. Aku ..."
"Sudah, kau makan malam disini saja, Gaara," Naruto memotong pembicaraan, "Tak usah khawatir. Kalau ada apa-apa, aku yang akan bilang pada orang tuamu deh. Lagipula tubuhmu pasti belum kuat untuk pulang, kan?" lanjutnya.
"Betul apa kata Naruto. Kami justru senang kalau kau mau makan bersama kami di rumah ini." Kushina menambahkan.
"Tapi ..." dahi Gaara mengerut. Pemuda berambut merah darah itu mengangguk setelah terdiam sesaat, "Baiklah, aku mengerti."
.
"Ohh.. jadi namamu Gaara, ya?" ayah Naruto yang bernama Minato mengangguk mengerti. Tangan kanannya meraih ayam teriyaki dari mangkuk hitam kecil menggunakan sumpit yang dipegangnya. Makan malam dimulai setelah ayah Naruto pulang kerja, "Tapi, bagaimana bisa segerombolan pria dewasa memukulimu begitu? Boleh kutahu kenapa?" tanya Minato disela makannya.
"Mereka.. tiba-tiba saja mendekat dan ingin merampas uangku. Karena aku menolak, mereka langsung memukulku. Untunglah Naruto segera datang menolongku. Jika tidak, mungkin saja mereka berhasil merampas hartaku." jawab Gaara.
"Wah, berbahaya sekali, ya? Tapi baguslah, yang penting kau selamat dari mereka." kata Minato seraya menunjuk ke arah Gaara dengan sumpit.
"Anu..., ngomong-ngomong Gaara tinggal dimana? Apa letaknya jauh dari sini?" tanya Naruto dengan mulut penuh nasi.
"Ya. Aku tinggal di daerah Suna."
"Suna?" Naruto tersedak sampai menyemburkan sisa nasinya, "Bu.. bukankah daerah situ tempat orang-orang elit? Benar, kan?" Naruto memastikan. Bola mata birunya membelalak.
"Begitu rupanya..." kata Minato sambil berpikir sedikit, "Berarti kau berasal dari keluarga kaya, ya.."
Gaara memandang mereka tanpa menjawab atau mengangguk sekalipun. Dengan kata lain, dia tak tahu harus menjawab apa pada mereka.
"Duh, maaf ya, Gaara. Makan malam kami hanya seperti ini. Harap maklum, ya.." Kushina menyeringai malu.
Gaara menggeleng cepat, "Anda tak perlu memikirkan itu. Bisa makan bersama seperti ini dengan Keluarga Uzumaki juga sudah membuatku merasa senang. Terima kasih."
Serentak semua anggota Keluarga Uzumaki tertegun mendengarnya. Tak disangka, seorang pemuda dari keluarga kaya bisa berbicara begini pada mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Dilihat dari sikap dan tata bicaranya, sepertinya Gaara bukan orang sombong.
Minato mendengus tersenyum, "Ah, harusnya kami yang berterima kasih, karena kau menerima ajakan makan malam bersama kami disini. Hahaha..!"
Gaara terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum simpul.
.
"Gaara, di rumahmu ada siapa saja?" tanya Naruto.
Mereka berdua masuk ke kamar pribadi Naruto setelah menyelesaikan makan malam. Pemuda pirang itu naik dan duduk diranjangnya, sementara Gaara lebih memilih duduk bersila ditatami.
"Aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan kedua kakakku." Gaara menjawab.
"Hmm..." Naruto menaikkan alis matanya dan mengangguk, "Enak, ya. Keluargamu lengkap sekali, apalagi kau punya dua orang kakak. Apa orang tuamu selalu di rumah?" tanyanya lanjut.
Gaara mengiyakan, "Ya, bahkan setiap hari."
"Heee...! Kau beruntung, ya.. kau berasal dari keluarga kaya, dan keluargamu selalu tinggal di rumah. Sedangkan aku, ayahku setiap minggu terkadang harus keluar kota untuk bekerja beberapa hari, jadi aku dan ibuku tak bisa mengobrol dengan beliau setiap hari. Meskipun ayah selalu menelpon hanya untuk menanyakan keadaan kami, tapi tetap saja itu tak membuatku puas. Menyebalkan." keluh Naruto. Dia menyipitkan matanya seraya melipat kedua tangannya kebelakang kepala.
"Bukankah itu lebih baik?" Gaara menyela.
"Eh?"
"Mekipun salah satu keluargamu pergi jauh, mereka masih sangat dekat dengan keluarganya. Itu lebih baik dibandingkan keluargamu selalu tinggal di rumah, tapi justru terasa begitu jauh dari mereka." Gaara menjelaskan. Pemuda berambut merah darah itu mulai memasang wajah serius, "Aku, walaupun seluruh anggota keluargaku selalu tinggal bersama di rumah. Aku tak pernah merasakan kedekatan keluargaku sekalipun. Aku tak pernah merasakan kehangatan dan keharmonisan keluargaku. Kami seakan hidup sendiri-sendiri dan tak peduli satu sama lain. Kedua orang tuaku dan kedua kakakku selalu sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Tak satupun anggota keluarga yang menanyakan meskipun itu hanya sekedar 'bagaimana sekolahmu?' atau 'apa kau punya masalah?'."
Naruto terdiam membelalak menatap pemuda di depannya. Dia menelan ludahnya, tenggorokannya seakan tertahan sesuatu.
"Aku ingin sekali mempunyai keluarga sepertimu, Naruto. Bisa bercanda, saling bercerita, makan bersama ataupun pergi bersama keluarga. Aku ingin menikmati dan merasakan itu semua. Anggota keluargaku seperti tidak ada waktu untuk berkumpul bersama anggota keluarga lainnya. Hari liburpun semua terasa sama. Tak ada satupun yang mengajak kami pergi liburan. Terkadang aku pergi sendiri untuk mencari ketenangan. Aku merasa kesepian. Apa gunanya mempunyai keluarga kaya tapi kita sama sekali tak merasakan kebersamaan? Apa mempunyai keluarga seperti ini akan membuat kita bahagia?"
Naruto masih tertegun mendengarnya. Dia menundukkan kepalanya dan tak berani menatap wajah lawan bicaranya sekarang.
"Kalau kau pikir harta akan membuatmu merasa bahagia, itu salah. Kekayaan tak akan pernah bisa membuatmu merasakan kata 'bahagia' yang sebenarnya. Kekayaan tak akan berarti apapun dibandingkan dengan kebersamaan dan kehangatan keluarga. Kekayaan hanya akan memberikan kita kebahagiaan sesaat, sedangkan kebersamaan justru memberikan kita kebahagiaan selamanya. Karena kepedulian, pengertian dan cinta adalah harta yang lebih berarti untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini. Siapa yang akan lebih mempedulikan kita selain keluargamu sendiri? Meskipun kau mempunyai banyak teman yang memperhatikanmu, tapi perhatian keluarga sendiri lebih membuat kita merasa nyaman, bukan? Kaulah yang seharusnya beruntung, Naruto. Keluargamu terlihat begitu harmonis. Baru hari ini aku bisa merasakan kehangatan keluarga dari keluargamu. Keadaannya begitu berbeda dengan keluargaku sendiri. Aku iri padamu."
"Ga... gaara.." Naruto tergagap. Dia menatap Gaara dengan raut wajah bersalah. Entah kenapa, setelah mengetahui kondisi keluarga Gaara, perasaan Naruto seperti terkoyak. Hatinya terasa sakit dan begitu sesak. Naruto tak menyangka bahwa Gaara menerima cobaan begitu berat dalam hidupnya, "Aku minta maaf dengan kata-kataku sebelumnya. Aku tidak tahu kalau kau..."
"Tak apa, aku mengerti..." Gaara memotong, "Jangan memasang wajah bersalah seperti itu, Naruto."
Pemuda pirang tersebut terdiam sesaat. Dia hanya memandang iba pada pemuda di depannya, "Gaara, kau boleh menganggap keluargaku sebagai keluargamu juga. Kau jangan pernah sungkan untuk bercerita tentang masalahmu padaku. Aku akan selalu terbuka untukmu, Gaara." kata Naruto.
"Aa, terima kasih banyak, Naruto. Aku berhutang budi padamu," Gaara menyipitkan matanya dan tersenyum simpul, "Dan terima kasih atas pertolonganmu tadi sore. Aku juga berterima kasih atas ajakan makan malamnya. Semua begitu berarti untukku." lanjutnya.
Naruto mengangguk cepat. Pemuda itu membalas senyuman Gaara. Tak lama, tiba-tiba Gaara mencengkram dadanya keras-keras. Detik berikutnya dia pun mengerang kesakitan, lalu membungkuk ditatami. Naruto yang melihat keadaannya, segera turun dari ranjangnya dan mendekati Gaara dengan wajah cemas.
"Gaara, kau kenapa! Bertahanlah!" Naruto memegang pundak Gaara sambil memandang wajahnya, "Tunggu sebentar, aku akan memanggil ayah dan ibuku!"
Gaara tak menjawab apapun. Dia terus menahan sakit didadanya. Napasnya terasa sesak, dia memejamkan matanya, sementara keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya.
Naruto, dia berlari keluar kamar. Terdengar teriakannya yang sedang memanggil kedua orang tuanya untuk memberikan pertolongan pada Gaara. Dalam hitungan beberapa detik, ayah dan ibu Naruto datang berlarian ke kamar anak tunggalnya. Minato segera melihat kondisi tubuh Gaara. Dia memang bukan seorang dokter handal, namun hanya melihat kondisi Gaara, dia tahu ini bukan pertanda baik dan Gaara harus mendapatkan penanganan secepatnya dari Rumah Sakit.
"Cepat kita bawa Gaara ke Rumah Sakit! Naruto, kau papah Gaara, ayah akan menyalakan mobil. Kita pergi secepatnya!" suruhnya.
Naruto menuruti perintah ayahnya. Dia mulai memapah Gaara keluar kamarnya, Minato dan Kushina pergi menuju mobil pribadinya.
'Bertahanlah, Gaara!' kata Naruto dalam hati sambil memandang wajah pemuda yang dipapahnya.
.
Pihak Rumah Sakit segera memberikan pertolongan medis pada Gaara. Keluarga Gaara telah dihubungi, dan kemungkinan anggota keluarganya akan datang beberapa menit lagi.
Naruto memperhatikan gerak-gerik para suster dan dokter didalam ruangan tempat Gaara dirawat lewat kaca kecil pintu ganda. Dilihatnya tubuh Gaara yang kini sedang dipasang beberapa alat dokter ke tubuhnya. Naruto memicingkan matanya, dia benar-benar tak tega melihat penderitaan Gaara. Tubuh Naruto bergemetar, dia begitu khawatir dengan kondisi Gaara. Semoga dia baik-baik saja, pikirnya cemas.
Naruto hanya bisa menunggu sampai dokter keluar ruangan. Naruto menghampiri kedua orang tuanya yang duduk di depan ruang perawatan, lalu ikut duduk disamping mereka. Pemuda pirang itu menyatukan telapak tangannya rapat-rapat. Kepalanya menunduk dalam, kedua sikunya dia letakkan diatas pahanya. Naruto menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, namun tetap gagal. Dia tak akan tenang sampai tahu keadaan Gaara sebenarnya dari dokter.
"Naruto, tenanglah. Gaara akan baik-baik saja." Kushina menepuk pundak kanan anak tunggal disebelahnya dan tersenyum.
"Kuharap begitu, bu. Aku tidak mau terjadi hal buruk pada Gaara."
Kushina mengangguk. Dia mengelus rambut pirang Naruto, "Ibu mengerti perasaanmu."
Tak lama, keluarga Gaara datang. Orang tua dan kedua kakak Gaara menghampiri ayah Naruto, kemudian mengucapkan terima kasih pada mereka. Naruto beranjak dari kursinya, lalu memberi salam pada mereka. Dia memperhatikan anggota keluarga Gaara satu persatu sambil mengerutkan dahinya. Jadi ini keluarganya Gaara? batinnya.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dari ruangan Gaara, "Bagaimana keadaannya, dokter?" tanya ayah Gaara.
Dokter itu menunduk sesaat, lalu kembali menatap mereka bertiga, "Begini, tuan. Setelah kami periksa, ternyata pasien mengidap penyakit jantung. Kondisi jantungnya sudah cukup parah. Kemungkinan pasien terlalu stres, sehingga berpengaruh besar pada jantungnya. Sekarang, kami hanya bisa menunggu kondisi selanjutnya dari pasien. Semoga saja penyakitnya tak bertambah parah."
Mata Naruto membelalak, dia tak menyangka kalau Gaara mengidap penyakit berbahaya. Apa mungkin Gaara stres karena memikirkan keluarganya? Pikir Naruto. Pemuda pirang itu tak bisa berkata apa-apa, bahkan sampai dokter pergi meninggalkannya. Kedua tangannya mengepal keras, bahunya bergemetar, hati Naruto terasa sesak dan sakit.
"Kenapa...?" suara Naruto mulai terdengar parau, "Kenapa harus Gaara?"
"Eh?" keluarga Gaara dan orang tua Naruto menoleh serentak padanya.
"Kenapa Gaara harus menerima cobaan seperti ini? Apa benar kalian tak pernah memperhatikan anggota keluarga kalian satu sama lain? Gara-gara kalian... gara-gara kalian Gaara jadi sakit seperti ini! Gaara begitu stres memikirkan keadaan keluarganya!" teriak Naruto. Semua keluarga Gaara terkejut dan membelalak.
"Naruto! Apa-apaan kamu! Jangan bicara yang tidak sopan pada mereka!" hardik Minato.
Naruto tak mempedulikan ayahnya dan terus bicara, "Gaara, dia begitu menginginkan kebersamaan keluarganya. Dia mengharapkan keharmonisan didalam keluarganya sendiri! Apa kalian tak mengerti perasaannya? Apa kalian juga tak ingin mempunyai keluarga yang hidup harmonis dan saling mencintai? Gaara bilang padaku kalau dia begitu kesepian! Meskipun kalian selalu berada di rumah, tapi tak satupun anggota keluarga yang menanyakan kondisinya sama sekali! Apa itu yang disebut keluarga? Kalian bisa memberikannya kekayaan, tapi kalian tak bisa memberikannya kebahagiaan! Dia ingin sekali bercanda dan bercerita dengan keluarganya, bukan orang lain! Tapi mana buktinya? Tak ada yang bisa dia dapatkan dari keluarganya, kecuali harta. Gaara tak membutuhkan harta kalian, dia membutuhkan kasih sayang kalian! Aku ..." Naruto mulai meneteskan air matanya dan terisak. Wajahnya memerah, dia menghapus air matanya dengan sebelah lengannya, "Ketika mendengar dan tahu kalau Gaara begitu menderita dengan kehidupan keluarganya. Hatiku sesak... hatiku terasa begitu sakit. Aku tidak kuat jika harus melihatnya menderita seperti itu. Apa... apa kalian tak berpikir hal yang sama seperti Gaara? Dia ingin sikap keluarganya berubah. Dia iri dengan keluarga yang harmonis dan saling mengerti satu sama lain! Sekarang Gaara mengiadap penyakit jantung, apa kalian masih akan begini sampai seterusnya!" isaknya.
Orang tua dan kedua kakak Gaara membuang mukanya. Mereka terdiam dan memasang wajah bersalah. Tak satupun mereka yang berani menatap wajah Naruto. Tapi Naruto bisa melihat, ibu dan kakak perempuan Gaara mulai meneteskan air mata mereka. Mereka tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Naruto, sudahlah. Jangan bicara lagi." bisik Minato sambil mencengkram kedua bahu Naruto dari belakang.
"Aku memberitahu hal sebenarnya, ayah."
Minato menghela napas panjang, "Aku mengerti, Naruto. Tapi tidak baik jika memberitahu mereka di tempat begini. Berhentilah bicara."
"Nak, kurasa kau benar," ayah Gaara menghampiri Naruto, "Maafkan kami. Selama ini kami memang selalu mementingkan diri sendiri dibandingkan keluarga. Kami benar-benar menyesal telah melakukan ini padanya. Mulai sekarang dan seterusnya... kami berjanji akan lebih memerhatikan dan peduli pada keluarga kami, termasuk Gaara."
"Maafkan kami. Terima kasih, karena kau telah menyadarkan kami akan pentingnya sebuah keluarga." kakak laki-laki Gaara yang berbadan besar menambahkan.
Naruto tertegun sesaat, kemudian bibirnya terukir senyuman simpul pada mereka semua, begitu juga Minato dan Kushina. Tak lama, keluarga Gaara masuk ke ruangan perawatan dan menjenguk Gaara disana bersama keluarga Uzumaki. Semua anggota keluarganya meminta maaf pada Gaara yang masih setengah sadar. Mereka berjanji tak akan pernah lagi melakukan hal ini pada Gaara. Mereka akan melakukan penyembuhan untuk penyakit jantung Gaara secepatnya. Karena bagaimanapun juga, cinta, perhatian dan pengertian merupakan obat untuk kesembuhannya.
Gaara tersenyum simpul, dia meneteskan air matanya dan memeluk keluarganya saat itu juga. Begitupun Naruto, dia tersenyum terharu melihat Gaara bahagia bersama keluarganya. Tak lupa Gaara mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada Naruto.
"Terima kasih, Naruto. Ini semua adalah berkatmu. Jika aku tak bertemu orang sepertimu, aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dari keluargaku. Sekali lagi, terima kasih." kata Gaara seraya memeluk Naruto.
Pemuda pirang itu menggeleng dalam pelukannya, "Tidak, aku hanya membantu sebisaku, Gaara. Ini merupakan hal yang harus kulakukan untukmu, karena kau adalah sahabatku. Aku turut senang melihatmu bahagia seperti ini. Semoga kau cepat sembuh, Gaara."
Gaara melepaskan pelukannya dan tersenyum, "Itu pasti. Aku akan berusaha melawan penyakit ini sampai aku benar-benar dinyatakan sembuh," Gaara terdiam sesaat sebelum akhirnya berbicara kembali, "Apa aku masih boleh menganggap keluargamu sebagai keluargaku, Naruto?"
Naruto menoleh ke arah Minato dan Kushina di belakangnya. Mereka bertiga saling bertukar pandang dan tersenyum, lalu menatap Gaara lagi, "Tentu saja. Aku sudah bilang padamu, kan? Aku akan selalu terbuka untukmu, begitupun dengan ayah dan ibuku." kata Naruto menyeringai.
Gaara mendengus senang, "Benarkah? Terima kasih."
"Kalau begitu, kami juga berharap kalian menganggap kami sebagai bagian dari keluargamu, Naruto." timpal ayah Gaara, disusul dengan anggukan setuju dari ibu dan kedua kakaknya.
Mendengar hal itu, keluarga Uzumaki memberikan senyuman simpul. Mulai hari ini, keluarga Gaara dan keluarga Naruto mempererat hubungan mereka selamanya. Gaara, akhirnya mendapatkan 'harta' yang selama ini dia inginkan, yaitu kehangatan dari keluarganya.
The End

fan fiction naruto "brother"



My Brother(don't like don't read)


Sasuke Uchiha memperhatikan gerakan laki-laki dewasa di depannya yang sedang sibuk membereskan buku-buku di kamar pribadinya. Laki-laki berusia 22 tahun tersebut bernama Itachi Uchiha, dia adalah kakak Sasuke. Satu-satunya kakak yang Sasuke miliki.

"Ada apa, Sasuke?" Itachi menghentikan gerakan jemarinya, lalu menatap heran pada adiknya yang sedari tadi berdiri mematung dipintu kamarnya.

Sasuke menggeleng, "Tidak apa-apa. Aku cuma mau melihat kak Itachi saja."
"Sasuke," Itachi menghela napas panjang, "Kemarilah, jangan berdiri disitu." ajaknya sambil mengayunkan sebelah tangannya.

Adiknya yang berusia 10 tahun itu berjalan mendekati Itachi dan duduk disisi ranjangnya. Setelah Itachi selesai membereskan bukunya, dia pun ikut duduk disebelah sang adik.

"Ada sesuatu yang mau kau ceritakan padaku, Sasuke?" tanyanya.
Sasuke terdiam, dia mendongakkan kepalanya dan menatap wajah kakaknya cukup lama, "Kak Itachi, apa benar kakak ingin menikah bulan ini?"

Mendengar hal itu, Itachi sedikit membelalakkan matanya. Dia benar-benar tak menyangka bahwa Sasuke memikirkan hal yang menurutnya termasuk dalam kategori cukup berat untuk pemikiran anak seusia Sasuke. Itachi pikir, Sasuke hanya akan memikirkan soal teman-temannya, bermain, atau sejenisnya. Tapi ternyata tidak juga. Sasuke, dia memang bukan anak kecil biasa.

"Sasuke," Itachi mulai membuka mulutnya. Dia menelan ludahnya, mencoba agar tak salah mengucapkan kalimat, "Iya. Dan kenapa tiba-tiba kau bertanya hal begini?" Itachi balik bertanya.
Sasuke menggeleng, "Tidak, aku cuma takut kak Itachi akan melupakanku setelah kakak menikah nanti. Selama ini, cuma kak Itachi yang bisa mengerti aku."

"Sa... sasuke."

Sungguh, Itachi tertegun mendengar ucapan dari sang adik. Sampai segitukah Sasuke memikirkannya? Apa perasaan Sasuke begitu terbebani kalau dia menikah nanti? Memang benar, Itachi termasuk seorang kakak yang mengerti betul bagaimana membuat adiknya senang. Itachi selalu menjadi teman bermain Sasuke. Karena itulah, Sasuke merasa berat jika harus ditinggalkan kakak tercintanya. Yah, meskipun nanti mereka akan saling bertemu walaupun hanya sesekali 'kan? Tapi bagaimanapun juga, ketika seseorang menikah, maka waktu bertemu dengan keluarga lainnya akan sedikit berkurang, dan itulah yang Sasuke pikirkan. Dia akan jarang bertemu kakaknya.

"Sasuke, bukankah masih ada ayah dan ibu di rumah? Jika aku tidak ada, mereka akan menemanimu 'kan?"
"Tapi aku cuma mau kak Itachi," timpal Sasuke, "Kalau kak Itachi tak ada di rumah, aku pasti kesepian. Kakak di rumah saja. Jangan pergi."

Sekali lagi Itachi membelalakkan matanya. Kali ini dia tak sanggup membalas kalimat adiknya. Adik tetaplah adik. Sasuke pasti akan merasa sangat kesepian jika dia meninggalkan adiknya meskipun ada kedua orang tua yang menjaganya. Namun tetap saja, yang namanya saudara kandung pasti akan sangat sulit dipisahkan, tak ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai kakak atau sebaliknya.

Malam ini, ayah dan Itachi akan membicarakan mengenai pernikahannya. Dalam hal ini, semua sudah berjalan dengan baik. Apalagi kedua belah pihak sudah saling kenal dan setuju. Hanya menunggu Itachi mengatakan siap menikah, maka jadilah. Disamping itu Itachi juga sudah mapan kerja, rumah pun sudah dia beli sebelumnya, ditambah umurnya yang cukup untuk menikah.

"Sasuke, aku mengerti perasaanmu. Dan aku pun berpikiran sama denganmu. Aku akan kesepian juga. Tapi, aku tak mungkin melupakanmu, Sasuke. Kau adikku, satu-satunya adik yang paling kusayangi. Apa aku tega berbuat seperti itu padamu? Hm?"

Itachi tersenyum, mencoba memberikan keyakinan pada Sasuke. Namun sang adik tak mempedulikan pembicaraan sang kakak. Sasuke tak menatap wajah Itachi. Dia menunduk untuk beberapa detik, kemudian berlari meninggalkan Itachi sendiri di kamarnya.

"Sasuke, tunggu!"
Itachi berteriak, tapi dia tak mengejar Sasuke keluar kamar. Karena dia tahu, saat ini adiknya hanya ingin menenangkan hatinya sendiri. Dia tak ingin mengganggu Sasuke untuk saat ini.
Itachi, bagaimanapun juga Sasuke masih begitu kecil untuk ditinggal menikah olehmu, bukan? Kau benar-benar kakak yang egois, pikir Itachi.

Yah, Itachi sebelumnya tak memikirkan apa yang akan terjadi jika dia menikah dan membiarkan Sasuke sendiri. Itachi juga tak sempat menanyakan apa adiknya keberatan dengan hal itu? Dia tak menyangka, pada akhirnya Sasuke mengeluarkan apa yang dipikirkannya selama ini pada Itachi.
Apa yang harus kulakukan? Pikir Itachi.
.
Malam itu di ruang keluarga, Itachi beserta orang tua dan Sasuke berkumpul untuk membahas pernikahan Itachi. Mereka kini duduk dilantai beralaskan tatami dengan ruang berukuran sedang.
"Jadi Itachi, bagaimana keputusanmu? Kau sudah siap untuk melamarnya besok?" tanya ayah.
Ibu tak menyahut, wanita itu menyunggingkan senyum tipis melihat Itachi terdiam dihadapannya.
Sasuke menoleh sedikit pada kakak disebelahnya. Namun Itachi tak membalas tatapan Sasuke. Pandangan mata Itachi terus teralih ke ayah dan ibu.
"Itachi?" ayah memanggil sambil mengerutkan dahinya.
"Ayah, kurasa aku..." Itachi berhenti sejenak, "ingin acara lamaranku ditunda saja."
"Apa!" ayah tersentak. Raut wajahnya berubah drastis. Jelas kalau lelaki separuh baya itu kini terlihat syok mendengar ucapan anak pertamanya, sama seperti ibu.
Sasuke pun membelalakkan matanya. Dia tak menyangka kalau Itachi akan menunda pernikahannya. Apa ini semua karena aku? pikir Sasuke. Dia mencengkram celana pendek hitamnya, lalu menelan ludahnya yang terasa berat.
"Kenapa kau tunda, Itachi? Bu... bukankah kau sudah bilang ingin ..." lanjut ayah.
"Benar," Itachi memotong, "Tapi, setelah kupikirkan. Sepertinya aku butuh sedikit waktu lagi untuk menjalin sebuah rumah tangga. Bagaimanapun juga aku butuh pemikiran yang lebih matang untuk kedepannya."
"Tapi, Itachi.." kata ayah.
Detik itu juga Itachi membungkukkan tubuhnya dan menunduk hormat, "Kumohon, ayah. Berikan aku waktu untuk memikirkan ini."
Ayah menunduk sambil memejamkan mata. Kedua tangannya dilipatkan didadanya. Tak lama dia menatap Itachi kembali, "Lalu, sampai kapan kau akan menunda lamaranmu?"
"Aku tak tahu. Tapi, aku akan memberitahu ayah nanti."
"Baiklah, aku mengerti. Pikirkan baik-baik. Semua ini tergantung pada keputusanmu."
"Ya, ayah. Terima kasih." jawab Itachi.
'Ka... kak Itachi..' Sasuke tergagap dalam hati.
Dia melihat gerakan Itachi hingga laki-laki dewasa itu kembali pada posisi duduk semula. Entah kenapa, setelah mengetahui penundaan lamaran Itachi, Sasuke jadi merasa bersalah. Semua gara-gara dirinya. Tak seharusnya dia bersikap egois. Kalau saja dia tidak berkata seperti sebelumnya, pasti hari ini akan menjadi hari menyenangkan untuk keluarganya, terutama Itachi.
Kau betul-betul bodoh, Sasuke! Pekiknya dalam hati.
Sasuke memperhatikan langkah ayah dan ibu yang keluar ruangan, sementara pandangannya kembali teralih pada kakak disebelahnya. Itachi tak mengubah duduknya sedari tadi dan memandang Sasuke sambil tersenyum.
Di ruangan keluarga ini sekarang tak ada siapa-siapa, kecuali kedua kakak beradik Uchiha.
"Maafkan aku, Sasuke. Aku telah menjadi kakak yang egois. Aku tak memikirkan perasaanmu sebagai seorang adik," Itachi angkat bicara, "Tak seharusnya aku menikah hanya mendapatkan persetujuan dari ayah dan ibu saja, tetapi aku juga harus mendapat persetujuan darimu, Sasuke. Aku memang bodoh. Kenapa aku tak memikirkan perasaanmu, ya?" Itachi mendengus tersenyum.
"Kak Itachi?"
"Kalau dipikir-pikir, aku cukup kejam. Aku seenaknya menikah dan meninggalkan adik yang masih berumur 10 tahun. Mungkin untuk sebagian orang ini terdengar konyol. Tak jadi menikah hanya karena ingin menemani sang adik," Itachi tertawa hambar, "Setelah kupikir, seorang kakak seharusnya memang merundingkan soal ini bersama adiknya, bukan berunding hanya dengan kedua orang tua saja. Kurasa ini adalah bagian yang penting juga."
"Kak.. kakak aku..."
"Sasuke, sesuai keinginanmu. Aku akan menemanimu di rumah ini. Dan kau... tidak akan merasa kesepian, bukan?" Itachi tersenyum. Dia mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh dahi sang adik dengan kedua jemarinya, membuat Sasuke mengernyit sambil memejamkan matanya.
"Aku tidak apa-apa. Kak Itachi tak perlu menunda lamaran kakak." Sasuke mulai memandang Itachi, seakan dia benar-benar ingin serius bicara, "Kakak menikah saja. Aku mungkin sangat egois dengan kata-kataku pada kakak sebelumnya. Aku minta maaf soal itu dan tak akan mengulanginya."
Itachi membelalakkan matanya, "Kau bicara apa, Sasuke?"
"Kak Itachi, aku memang tidak ingin kakak pergi. Tapi bukan berarti kakak benar-benar menunda lamaran kakak. Bukankah seharusnya besok menjadi hari yang ditunggu-tunggu kakak? Benar 'kan?" Sasuke melanjutkan.
"Tidak, Sasuke," Itachi menggeleng cepat, "Ini adalah pilihanku sendiri. Aku ingin menunda, setidaknya sampai kau sedikit lebih dewasa dan mandiri. Setelah itu, aku akan menikah."
"Jika sampai aku umur 15 dan aku belum juga terlihat dewasa dan mandiri bagaimana? Apa kakak masih akan menungguku hingga aku benar-benar mandiri?"
Itachi terdiam memandang adiknya.
"Kalau kakak menikah dan meninggalkanku sendiri, aku tak keberatan kok. Karena tanpa kakak nanti, mungkin saja aku bisa belajar mandiri lebih cepat. Memang aku akan kesepian, tapi dalam hitungan hari atau bulan, aku akan terbiasa hidup tanpa kakak di rumah."
"Kau yakin? Tidak, Sasuke. Aku akan menunda lamaranku sampai mendapat persetujuan darimu. Aku tak ingin mendengarmu menangis karenaku."
"Kalau begitu, aku akan memberi kakak persetujuan malam ini. Kak Itachi kuperbolehkan melamar dan menikah bulan ini. Dan aku berjanji, aku tak akan merengek atau menangis kalau kakak meninggalkanku nanti. Bagaimana?"
"Sasuke..."
"Kak Itachi tak perlu khawatir. Percayalah, aku tak akan menangis lagi seperti sebelumnya. Aku akan berusaha menjadi anak yang kuat."
"Kenapa kau bicara begitu, Sasuke?" Itachi mengernyitkan dahinya.
"Aku adalah adiknya kakak. Karena itu aku pasti bisa." Sasuke menyeringai lebar.
Itachi tertawa kecil, "Tch. Kau bercanda?"
"Siapa yang bercanda? Apa kakak pikir aku sedang bercanda? Aku berkata serius, dan kakak harus percaya kalau semua akan baik-baik saja," Sasuke menyipitkan matanya, "Kumohon, kak. Jangan tunda lamaran kakak besok. Bukankah di rumah masih ada ayah dan ibu? Nanti mereka yang akan menjagaku menggantikan kakak. Kakak sendiri 'kan yang bilang begitu?"
Itachi menelan ludahnya. Dia terdiam memandang tak yakin pada sang adik.
"Ayolah, kak. Ayah dan ibu juga pasti kecewa dengan keputusan kakak tadi. Kalau kakak tak menundanya, pasti mereka akan senang sekali. Aku ingin melihat kak Itachi bahagia. Dan aku janji, setelah ini aku akan mulai belajar menjadi anak mandiri." Sasuke mencoba memberi keyakinan.
"Sungguh?"
Sasuke mengangguk tersenyum.
"Kemarilah, Sasuke," Itachi mengulurkan kedua tangannya, sementara Sasuke menghampiri Itachi kemudian memeluknya erat-erat, "Aku berjanji, aku akan sering mengunjungi rumah ini dan bermain denganmu, Sasuke." Itachi tersenyum dan memejamkan matanya.
"Terima kasih, Sasuke." lanjutnya.
The End



::AHSS::Senior Year::
::Prologue::

::Sasuke's POV::

Here it was. The first day of senior year.

I stood in front of the high school holding Naru's hand tightly. The memories of the time we spent together seemed to hit me all at once.

We I met him my first day here, the talks in the library, out first kiss on his bed, prom night, the first time we had sex... I felt my face heat up at the thought of the last one.

Naru smiled at me, "Ready for senior year, Sasu?"
"Yeah, should be interesting." I replied, returning a small smile.
"Then let's go." said Naru, releasing my hand from his.

We had to be careful, because in reality, no one actually knew that Naru and I were a couple, besides our friends. It wasn't something we could be open about. Because if people in school found out about us, we'd go through hell. And I couldn't let anything or anyone hurt Naru ever again.

I simply loved him too much to see him cry. He was my everything and nothing could change that.
Nothing.

Kiko: I'd say it's a nice start. I've already planned out half of this story, just gotta throw it all together so it makes sense. xD
Even though this is mega short for a prologue, in my opinion, I hope you liked it! I know it sucked me in when I was writing it, haha.
Anyways, please review!
-Kiko-chan

jiyonge yeoja
isty nara uchiha

naruto fan fiction

╔═╦╦══╦══╦╗╔╦══╦══╗╔╗
║║║║╔╗║╔╗║║║╠╗╔╣╔╗║║║Put this on your
║║║║╚╝║╚╝╣║║║║║║║║║╚╝page if you love
║║║║╔╗║╔╗║╚╝║║║║╚╝║╔╗Naruto!


 
╚╩═╩╝╚╩╝╚╩══╝╚╝╚══╝╚╝
Naruto had a peanut, a green packaging peanut named Bob. One day Naruto had found this mysterious peanut thing.
 
 He ran up to his sensei, Jiraya."Hey, Jiraya! Lookit what I found!I will call this peanut looking thingy, 'Bob'."Naruto took a red sharpie out of his pocket and drew a smiley face on 'Bob'. "By the way, why do they call these things peanuts, Jiraiya?" Naruto asked. Jiraiya looked down at his student, "Its pretty obvious ya know, they're shapred like peanuts..." he answered. Naruto looked at his peanut
, "Ooohhhh..." Jiraiya facepalmed and continued walking. Naruto was yelling about how the peanuit was his friend and that it was named Bob. He even held it up next Jiraiya saying how similar they looked, which wasn't true. "Hey, Naruto, lemme see Bob for a sec." Jiraiya said. Naruto hesitated for a moment before handing the peanut to Jiraya. "Errm...Okay..." he replied. Jiraiya took the peanut and threw it to the ground and stomped on it, crushing it flat against the ground.
 
"Y-you killed Bob!" Naruto yelled, trying to sound just a bit sad but was instead laughing, "Y-you murderer!" Jiraiya picked up the smashed peanut and handed it back to Naruto. Naruto took the 'dead' peanut and reached into his pocket and took out another peanut, "Atleast I have Bob version 2.0." he said.

naruto fan fiction "Konoha Empire Chronicles"


Konoha Empire Chronicles: Cursed Blossom
I
I observed the extravagant ballroom, and marvelled in the exquisite taste of the Yamanaka Matriarch. Vampires, disguised by fabulous masks, glided easily across the marble floors. A large square chandelier hung over head, capturing the lights of candles that decorated the enormous room. Gourmet tables sat on either side, presenting delicious food, wine and blood. Slaves, hidden behind plain white masks, were dressed in amazing cloth and revealed their utmost respect to the guests, serving as employees.

It wasn't long before I found my hand captured inside of another, his hand hidden beneath white gloves and so much larger then my own. Lifting my head up, I realized that the person whom had enough courage to touch me without my permission was wearing a very unique masquerade mask.

It was perched atop of his head, and covered the top and right side of his face. His eyes were a glowing green colour, the reminiscent of emeralds. The mask was black and glowing red rhinestones bordered the mask, while silver glitter was splashed around the mask at seemingly random. His hair, which was long and sleeked back, was a strange colour of black - too black to be real.
"Sakura…" He breathed, voice recognizable.

"Who are you?" I asked gently, falling into the same rhythm as the other Vampires.

"You are in danger, Sakura…"

"W-What?"

"Are in danger, Sakura…"

"I can't be!""In danger, Sakura…"

"You're scaring me! Stop saying that!" I shouted frantically, capturing the attention of other Vampires.

"Danger, Sakura…"

"Please silence!" I ordered.

"Sakura…"

Before I could yell another desperate plea, his hand dissolved and the world dishevelled around me.

Screaming out names, the floor beneath my feet crumbled and I disintegrated inside of an abyss.


How did you think of that? I hope you did like it, and I'm hoping that I blow you all up with surprises! OMG I just sounded like Deidara. Anyway, Please Review & No Flames. Thank You. Parewhai.

upcoming YG Family concert 2010

"YG FAMILY "upcoming concert 2010





Members of the YG Family recently got together for a meeting on the afternoon of November 7th.

YG Entertainment CEO Yang Hyun Suk, Big Bang, 2NE1, and Gummy headed to the company building for a three-hour meeting regarding their December YG Family concert. There were many other artists in attendance as well, however, Psy and Se7en were unable to make it due to overlapping broadcast schedules and business in America.

According the agency’s representative, the meeting was held in order to hear everyones’ opinions and thoughts on stage settings, programs, and performances. Many fun and interesting ideas were said to have been exchanged.

2NE1’s Dara recently uploaded a picture of their concert setlist on her microblog and wrote, “We have a lot of 2NE1 songs in the lineup. We’ll prepare a fun and enjoyable performance. But… our seniors also have a lot of songs and hit songs, so what kind of stage will be shown is… secret.”

naruto fan fiction "sasuke uchiha must die"




Sasuke Uchiha Must Die
Prologue

Hi, I'm Sakura Haruno a.k.a. the new girl. I'm invisible. Well, not invisible invisible, just social-wise invisible. Anyways I love my life but I just wish sometimes I could stay at one school and make some friends that I could tell my deepest dark secrets to and talk about all the latest gossip about some stuck up snob.
But obviously that's never going to happen to me because of my dearest old mom. Why you ask? Well, let me explain.

My mom has "dating" issues. It's not like she has a problem nailing them. Because of course, she can with her yoga body and her "easy" aura! That's not the problem! It's the keeping them part that she has trouble with.
She always somehow ends up with a scum bag. It's like she's a magnet to those kinds of guys and sooner or later the guy (scum bag) she thought was the one jumps up and leaves her without saying anything. Not even "I'm breaking up with you" or "Goodbye."

After that my mom goes and has a little therapy session or two crying and eating some chocolatey goodness such as icing or a chocolate bar to compensate with the heartache and then we pack up our things and leave to the next town to start the routine all over again.

So you see I never am in a school long enough to make friends. And even if I somehow was able to stay in town I would probably faint or stutter too much when someone would talk to me to even make a friend. Well. at least normal friend.

I'm too shy from the fact that I've never had a normal conversation! I probably don't even know how to react to someone talking besides my mom. It's rather embarrassing.

Anyways right now I'm at Konoha Gakuen and since I've been here I've gone from being completely unknown to kinda invisible.

I mean this one person saw me in the bathroom and asked, "Are you an elf?"
...Okay so maybe that's not what I exactly hoped for but, at least it's a start!
Anyways enough talking about me.

This story isn't even about me. It's about him
The one and only Sasuke Uchiha.

Should I finish this? -_-
I don't know if I really should or not _

my namja "ji yong"


konichiwa ... all chingu !!!
kalian uda pada tau kan kalu g-market ud rilis ....

saia nggak tau kalau rilis CF nya itu tanggal 12 November
tapi ... beruntungnya saia bisa denger g-market  di my favorite radio chanel ....

nggak  .... nyangka sama sekali kalau akan di puter hari itu ... turn on radio langsung denger oppa GD nyanyi ...
wih .... keren banget ...
" so fresh ... so cool "
saia taunya sih ketika oppa GD  nyanyi kayak gini " i'm captein g-spArrow "

langsung dah saia ketawa ... and dengeri lirik berikutnya yang semakin narsis  dengan dirinya sendiri ...
ya .... nukan ka' ji yong namanya kalau nggak narsis dengan hal-hal yang di milikinya !!!!


 " jiyonge yeoja "
isty nara uchiha
BIGBANG © 2008 Template by:
SkinCorner